Berbuat yang terbaik sekarang lebih baik dari pada hanya merencanakannya

rss

Rabu, 21 Maret 2012

PERENCANAAN DAN PENYELESAIAN MASALAH INFRASTRUKTUR PERKOTAAN MELALUI INTEGRASI SIG KOLABORATIF DAN SIG PARTISIPASI PUBLIK

Dalam pembangunan infrastruktur perkotaan, konsep pendekatan bottom-up sudah dilaksananakan  melalui  proyek-proyek pemerintah. Dalam kaitan ini, teknik pemetaan partisipatif atau sistem informasi geografis (SIG) partisipatif merupakan salah satu strategi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses penyerapan aspirasi dan kebutuhan komunitas masyarakat akan pembangunan infrastruktur.
Prasarana fisik memegang peranan penting dalam pembangunan masyarakat. Masalah-masalah prasarana  fisik yang muncul di tengah-tengah komunitas masyarakat, seringkali telah menghambat pengembangan potensi daerah di mana masyarakat tersebut tinggal, dan berujung pada kemunduran pengembangan keswadayaan masyarakat itu sendiri.

Perencanaan dan Permasalahan Infrastruktur Perkotaan
Prasarana fisik di lingkungan perkotaan mempunyai penting dalam membantu pembangunan masyarakat perkotaan. Jalan dan jembatan tingkat propinsi dan kota, jaringan penerangan kota saluran drainase sampai dengan jalan, penerangan dan drainase lingkungan yang ada di sekitar komunitas masyarakat kota, merupakan suatu sistem infrastruktur terpadu. Keberhasilan dan keteraturan sistem infrastruktur tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Usaha-usaha perbaikan kualitas infrastruktur kota terus dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara swadaya. Dalam melaksanakan perbaikan dan pembangunan infrastruktur perkotaan, program penjaringan aspirasi masyarakat untuk pembangunan infrastruktur sudah merupakan kebijakan nasional. Mulai dari program NUSSP (Neighborhood Urban Shelter Sector Project) maupun PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), PJ (Penerangan Jalan), komunitas masyarakat kelurahan dan desa diberikan keluasaaan untuk menyuarakan aspirasi pembangunan non fisik dan fisik (termasuk infrastruktur lingkungan), melaksanakan survei mandiri, serta melakukan perhitungan kebutuhan pembangunan.
Program ini telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Namun demikian, dikarenakan tingkat pemahaman dan kapasitas komunitas yang berbeda-beda, maka tingkat kedetilan identifikasi masalah lingkungan dan kelengkapan pembuatan rencana program menjadi berbeda dari satu kelurahan ke kelurahan yang lain. Selain itu, meskipun telah disediakan pendampingan dalam program-program tersebut, masih banyak terdapat variasi yang bersifat  non teknis seperti adanya perbedaan strategi, perbedaaan sudut pandang prioritas pembangunan (fisik atau non fisik) dan manajemen keuangan dari satu Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) ke BKM lain.
Dari usulan masyarakat tersebut, kemudian dilakukan penentuan prioritas pembangunan oleh Kantor Kimpraswil (Pemukiman dan Prasarana Wilayah) kota dengan bantuan pihak ketiga (konsultan). Dari beberapa program yang ada, prioritas pembangunan diutamakan untuk diberikan pada program pembangunan infrastruktur di sekitar lingkungan masyarakat miskin. Sebagai contoh, apabila dari usulan program konblokisasi dari BKM dilakukan verifikasi, apabila ditemukan bahwa kompleks pemukiman di kiri-kanan jalan yang diusulkan tersebut adalah pemukiman dengan konstruksi tembok, maka usulan ini tidak dianggap kebutuhan yang perlu diprioritaskan.  Peran Sistem Informasi Geografis dalam Proses Pembangunan Infrastruktur Dalam suatu kegiatan pengembangan prasarana fisik misalnya jalan, proses perencanaan dan antisipasi konflik sebagai  dampak dari implementasi pengembangan prasarana memerlukan dukungan sistem pengambilan kebijakan multidisiplin dan mekanisme penyerapan aspirasi dan kearifan lokal. Untuk ini, pendekatan top-down maupun bottom-up sering dikombinasikan dalam proses  perencanaan dan antisipasi konflik untuk mendapatkan solusi yang tepat dan memuaskan.
 Pendekatan  top-down  dapat diwujudkan melalui Kerja Kelompok atau  group work  dan Pengambilan Keputusan Kelompok (group decision-making) melibatkan instansi-instansi teknis terkait. Dalam hal ini, proses penggalian informasi, sintesa informasi, dan analisa permasalahan sampai dengan pembahasan alternatif solusi secara efektif dan kolaboratif untuk mendapatkan pemahaman kompleksitas masalah, penyatuan perspektif yang beragam, dan pemilihan solusi secara kolektif dan terpadu dapat difasilitasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Kolaboratif. Sementara itu, terkait pendekatan bottom-up, perlu dibangun metode penyaluran aspirasi kelompok masyarakat pengguna maupun kelompok masyarakat yang akan terkena dampak suatu kegiatan pembangunan melalui penerapan  SIG atau pemetaan partisipatif  atau dikenal juga sebagai  SIG partisipasi publik. 

Peran Sistem Informasi Geografis dalam Proses Pembangunan Infrastruktur
Cukup mengejutkan, hingga saat ini, piranti lunak dan aplikasi SIG pada umumnya dirancang untuk pengguna individual. Aspek interaksi kelompok belum tercakup dan dimengerti secara luas penggunaannya.
Berangkat dari kenyataan, bahwa publik atau warga masyarakat umum sering di-marginal-kan dalam pengambilan keputusan dan pemilihan prioritas, terminologi SIG partisipatif muncul untuk memfasilitasi penyerapan aspirasi anggota kelompok komunitas masyarakat. SIG partisipatif dapat didefinisikan sebagai bentuk pemanfaatan metodologi dan teknologi informasi kebumian dan pemetaan untuk melibatkan kelompok masyarakat dalam proses identifikasi masalah, penentuan prioritas, dan pengusulan program. SIG  Partisipatif membantu visualisasi ide dan masukan warga masyarakat yang terkait dengan informasi keruangan. SIG partisipatif digunakan pertama kali dalam konteks perencanaan penatagunaanlahan (Obermeyer 1998).  Dalam perkembangannya, SIG partisipatif diaplikasikan dalam bidang pertanian dan perencanaan rural, sosial-politik, ekonomi, dan kesehatan.

Partisipasi publik dan informasi spasial

Fokus dari SIG Partisipasi Publik (SIG PP) adalah lebih pada optimalisasi pemberdayaan partisipasi publik, bukan pada teknologi SIG-nya atau peta-nya (McCall 2004). Dalam perspektif ini, McCall melihat bahwa SIG adalah ‘tool’ atau ‘metode’ untuk mendayagunakan aspirasi dan suara masyarakat dalam proses perencanaan, evaluasi, dan sebagai dasar untuk aksi komunitas. Namun demikian, dengan semakin luasnya pilihan metode dan teknologi pemetaan dan  positioning, riset terkait SIG PP juga dapat memfokuskan pada pemberdayaan teknologi pemetaannya. Pada saat ini, metode dan teknologi pemetaan dan atau SIG yang dikembangkan sangat beragam, mulai dari pemetaan dengan material sederhana (kapur, maket 3D) sampai dengan pemetaan dengan citra satelit dan peta tematik sampai pemanfaatan teknologi internet dan piranti bergerak. Dan, pada mulanya SIG PP dikembangkan dalam konteks  urban planning  di Amerika dan Canada, selanjutnya  metode ini dikembangkan juga dalam konteks  rural planning  di negara-negara berkembang seperti di Amerika Latin dan di Asia Tenggara (Sieber 2003).
Pada awal perkembangan SIG PP, target partisipasi adalah masyarakat umum yang tidak memiliki akses kepada  kekuasaan dan peran dalam penentuan kebijakan. Karena target masyarakat dalam kegiatan SIGPP adalah masyarakat yang terpinggirkan, maka seringkali SIGPP digunakan sebagai wadah penyaluran aspirasi, misalnya untuk mendukung mediasi kelompok masyarakat terasing dan terpencil (Sieber 2003). Intensitas partisipasi dalam SIG PP sangat beragam. Berdasarkan intensitasnya, berikut ini disajikan bentuk partisipasi atau pelibatan anggota komunitas masyarakat pada kegiatan pemetaan partisipatif (McCall 2004).
1.      Berbagi informasi
Pelibatan pengetahuan komunitas lokal oleh pihak luar dalam mengenali sumberdaya (misalnya: pemetaan tanah terlantar)
2.      Konsultasi dan mediasi
Pelibatan komunitas local dalam mengidentifikasi permasalahan (berupa kebutuhan  dan tuntutan) yang terkait pada suatu topik khusus yang menjadi fokus pihak luar.
3.      Pelibatan dalam pengambilan keputusan
Interaksi pihak dalam dan pihak luar dari suatu komunitas secara bersama-sama dalam mengidentifikasi permasalahan, menganalisis permasalahan dengan tema interaksi pada umumnya diinisiasi dari pihak luar.
4.      Inisiasi aksi 
Inisiatif pembangunan komunitas masayarakat dari warga masyarakat sendiri dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan lingkungan secara kolaboratif.

Adapun berdasarkan tujuannya, SIG PP dapat dikategorikan sebagai berikut (McCall 2004):
1.      Fasilitasi
Partisipasi dilaksanakan untuk mengenalkan dan memperlancar program pembangunan yang akan melibatkan komunitas masyarakat lokal.
2.      Pemberdayaan
Partispasi dilaksanakan untuk mendorong komunitas lokal dalam menentukan keputusan dan bertanggungjawab dalam berinisiatif , mendapatkan hak kepemilikan, menyediakan akses terutama kepada komunitas yang lemah dan tersisihkan.
3.      Kolaborasi dan Mediasi
Partisipasi dilakukan untuk menjamin kesinambungan antara  proyek dari luar komunitas dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada di dalam komunitas melalui usaha diskusi dan analisis secara kolaboratif.

Dilihat dari perspektif sistem, terdapat banyak perbedaan antara SIG yang sudah banyak diaplikasikan oleh pengambil  keputusan dan pemetaan dan SIG partisipatif untuk komunitas masyarakat. Tidak hanya pada tujuan dan pendekatannya saja, top-down vs. bottom-up, pada aspek fungsi dan biaya juga terdapat perbedaan.  Berikut ini secara lengkap disajikan table perbedaan SIG dan SIGPP.

Perencanaan dan Penyelesaian Masalah secara Kolaboratif dengan SIG oleh Pengambil Keputusan 

SIG Kolaboratif didefinisikan sebagai integrasi teori, piranti, dan teknologi yang berfokus, namun tidak terbatas, pada optimalisasi interaksi dan partisipasi manusia dalam proses-proses pengambilan keputusan berbasis spasial (Balramand &  Dragićević  2006).  Dari perspektif  GI Science, SIG dan masyarakat merupakan komponen penting yang membentuk SIG Kolaboratif (Gambar 2). Dalam gambar 2 tersebut, dapat dilihat bahwa SIG PP (Public Participation GIS) secara konseptual berbeda dengan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan Grup (Group Spatial Decision Support Systems, GSDSS). SIG PP target penggunanya adalah masyarakat umum dan kelompok komunitas, sedangkan GSDSS target penggunanya adalah tim ahli termasuk ahli lokal. Dalam penelitian ini, terminologi SIG kolaboratif lebih dikhususkan pada penggunan SIG secara kelompok oleh para pemegang keputusan dan analisis yang pada umumnya melibatkan aktivitas koordinasi, sinkronisasi dalam menyatukan perspektif dan mengambil keputusan.  

SIG Kolaboratif adalah proses pemanfaatan teknologi SIG dan data, grafik visual termasuk peta secara kolaboratif. Dalam hal ini, terkait ruang dan waktu, jenis aplikasi SIG Kolaboratif dapat dibagi menjadi 4, yaitu: digunakan pada ruang sama waktu sama (synchronous & co-located), sama ruang  beda waktu (asynchronous & co-located), beda ruang sama waktu (synchronous & distributed), beda ruang beda waktu (asynchronous & diostributed) (table 2)

Menurut MacEachren (2005) dalam beragam kemungkinan  setting  SIG kolaboratif, peta ataupun sistem informasi dengan antarmuka peta dapat berfungsi sebagai (berdasar tingkat efektivitas dan efisiensi penggunan peta dalam grup): obyek kolaborasi, representasi visual untuk dialog, serta pendukung pengkoordinasian aktivitas. Pada umumnya, peta masih dimanfaatkan sebatas sebagai obyek kolaborasi yaitu sebagai salah satu tool untuk menunjang proses komunikasi dan diseminasi informasi antar anggota grup. Peta sebagai media diskusi dan terlebih sebagai pendukung pengkoordinasian aktivitas membutuhkan disain interaksi dan sistem yang lebih rumit dan perlu memperhatikan kegunaan dan kemampuan kognitif  anggota untuk pengambil keputusan (MacEachren 2005).

Peta dan SIG perlu didisain untuk mendukung tahap-tahap:  intelligence, design, choice  (Simon 1977) dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kaitan ini, penerapan  multi criteria decision-making  (MCDM), yaitu pengambilan keputusan berbasis analisis multi kriteria, mempunyai potensi untuk mendukung keakuratan diskusi dan analisis grup (Malczweski 2006). Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa MCDM justru dapat menambah kerumitan pengaplikasian SIG kolaboratif bagi grup pengambil keputusan (Jankowski & Nyegers 2001). 

Dalam konteks perencanaan urban, aplikasi SIG PP  dan SIG kolaboratif telah menjadi fokus riset SIG sejak tahun 2000. Dalam kaitan ini, integrasi SIG PP dan SIG kolaboratif merupakan salah satu agenda riset yang penting (Carver 2001 & Mason & Dragićević 2006) dan masih belum banyak dilakukan eksplorasi. Penelitian ini mencoba berkontribusi dalam agenda riset ini dengan membangun sebuah alternatif pemanfaatan teknologi internet dan SIG untuk pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan dan pemutusan masalah prasarana fisik lingkungan. 

Pemetaan Partisipatif untuk Perencanaan dan Pemutusan Masalah Infrastruktur Lingkungan Perkotaan 

Secara khusus penelitian dikhususkan pada komunitas RW 03, Kelurahan Pandeyan yang digolongkan kawasan padat penduduk dan terdapat banyak penduduk miskin (240 orang dari 830 orang yang tinggal di RW tersebut tergolong masyarakat miskin). Wilayah ini berada di sebelah timur Drainase Kalimambu, dan berjarak kurang lebih 1 km dari Sungai Gajah Wong. Secara topografi, daerah ini lebih rendah dibanding daerah di sebelah utaranya (114 m dpl), sehingga pada musim penghujan, beberapa lokasi di wilayah ini selalu tergenang air. Dipilihnya RW ini berdasarkan kegitan survei pendahuluan dan setelah direkomendasikan oleh Kantor Kecamatan Umbulharjo dan Kelurahan Pandeyan.  

RW 03 Pandeyan dapat dipandang sebagai wilayah dengan karakteristik menarik dikarenakan aspek topografi dan sosial kemasyarakatan (penduduk miskin di atas 25% dan berpengalaman dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat seperti NUSSP, PNPM, dan CAP GTZ Jerman). Di samping itu, dari sisi tata kota, wilayah ini dapat dikatakan tergolong kawasan prioritas pembangunan. Misalnya saja, meski lebih dari 70% pemukian di wilayah ini mempuyai konstruksi bangunan permanen, namun demikian 58% kondisi bangunan dapat dikategorikan buruk. Adapun dari 11891 ha total area wilayah ini, penggunaan lahan dapat dijabarkan: 63,65% untuk hunian/pemukiman, tanah kosong 15%, komersial 17%, dan lain-lain 3%.  Komposisi status kepemilikan tanah adalah: 25% tanah negara dan 75% tanah dengan SHM (Sertifikat Hak Milik). 

Kualitas jalan lingkungan juga kurang mencukupi, misalnya saja secara keseluruhan total jalan lingkungan adalah 5000 m dengan rincian 3000 m sudah diperkeras dengan kualitas rapat beton. Di beberapa titik pada wilayah ini juga terdapat kebutuhan untuk perbaikan penerangan jalan warga. Genangan air hujan merupakan permasalahan serius yang tidak terselesaikan bertahun-tahun. Rata-rata di kelurahan Pandeyan secara umum, genangan air hujan di jalan lingkungan dan lahan warga berkisar antara 10–50 cm, dengan lama genangan bervariasi dari satu RT ke RT lain, antara 30 menit sampai dengan 4 jam. Dari survei mandiri yang sudah dilakukan oleh warga, penyebab genangan sangat bervariasi mulai dari tidak adanya atau rusaknya SAH (saluran air hujan) dan SPAH (saluran pembuangan air hujan), terain lahan yang rendah, irigasi meluap, sampai dengan meluapnya sungai Gajah Wong. 

Gambar 2: Grafik komposisi status kepemilikan tanah, penggunaan lahan, jenis dan 
kualitas konstruksi bangunan di RW 03 Pandeyan.

Pemetaan partisipatif dengan peta dan citra satelit kertas



Kegiatan ini diikuti oleh 13 warga kampung Pandeyan, terdiri dari unsur pengurus RW, RT, dan pemuda. Secara lengkap, tahapannya adalah:


  1. Pertemuan warga masyarakat dibuka oleh pengurus RW. Secara singkat, Ketua dan Sekretaris RW mengenalkan tim peneliti kepada anggota komunitas yang hadir, peserta pemetaan partisipatif tahap II
  2. Tim peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kegiatan pemetaan partisipatif yaitu untuk melakukan identifikasi, analisis perspektif lokal, dan pengusulan perbaikan atau pembangunan prasarana terkait.
  3. Citra satelit RW 03 ditunjukkan kepada peserta dan dijelaskan tatacara pembacaan citra dan orientasi lokasi.
  4. Warga dibagi dalam empat kelompok berdasarkan tempat tinggal (1 kelompok mewakili 1 RT, kecuali RT 13 ditangani oleh dua kelompok mengingat besarnya wilayah RT dan banyak genangan banjir/air hujan)
  5. Setiap kelompok diminta untuk melakukan diskusi dan eksplorasi masalah, analisis, dan usulan. Identifikasi masalah genangan disyaratkan harus ditunjukkan di atas citra (digambar di atas kertas kalkir). Setiap hal (identifikasi, analisis, usulan) merupakan layer-layer terpisah yang harus dimunculkan di atas peta. Apabila perlu, dapat digunakan flexi note untuk menambah anotasi di atas peta.
  6. Untuk setiap kelompok, seorang asisten membantu mengarahkan dan memfasilitasi alat tulis (misalnya: pensil warna-warni, flexi note)
  7. Setelah setiap kelompok selesai membuat peta genangan air hujan, selanjutnya keempat peta digabungkan dan dilakukan peringkasan masalah. Di dalam tahap ini, peseta dapat memberikan tambahan atau koreksi.

Ketujuh tahap tersebut dilakukan di dalam ruangan Balai RW 03 selama 140 menit. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah peta identifikasi genangan air hujan dan anotasi-anotasi terkait analisis masalah dan usulan kelompok untuk masing-masing lokasi genangan.

Pemetaan partisipatif dengan Mobile GIS




Pada kesempatan yang lain (berjarak tiga minggu dari kegiatan pemetaan partisipatif),tim peneliti melaksanakan kegiatan yang sama dan diikuti oleh 14 warga RW 03. Sebagian besar dari peserta (lebih dari 8 orang) terlibat dalam aktivitas pemetaan partisipatif II. 

Tujuan kegiatan ini adalah untuk:
1.      Melakukan verifikasi langsung atas apa yang sudah dihasilkan dari kegiatan pertama, langsung ke lapangan bersama masyarakat menggunakan teknologi mutakhir SIG
2.      Mengkaji apresiasi dan aspek kognitif peserta terhadap teknologi mutakhir SIG dalam menunjang proses pemberdayaan masyarakat.

Tahapan pelaksanakan kegiatan pemetaan partispatif tahap 2 adalah sama seperti pada pelaksanaan pemetaan partisipatif tahap 1. Perbedaannya terletak pada hal-hal berikut:
1.      Peserta dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan RT di mana peserta tinggal (RT 12, RT 13, dan RT 14)


Gambar 2: Ringkasan hasil kegiatan pemetaan partisipatif per kelompok komunitas RW 03
disimpulkan menjadi peta identifikasi genangan air hujan.



Gambar 3: Piranti bergerak HP iPAQ Travel Companion dengan software ArcPad 7



Gambar 4: Hasil pemetaan partisipatif ketiga kelompok diunduh dan disatukan menjadi satu layer yang siap diolah di dalam software SIG (misalnya menggunakan ArcGIS).
Luasan dengan warna hijau adalah hasil pemetaan partisipatif tahap 2.

2.      Peserta menunjukkan genangan di lapangan dan mendiskusikan penyebab dan solusi masalah. Selanjutnya, identifikasi genangan digambar di atas ArcPad dan nilai tekstual masing identifiksi permasalahan, analisis, dan solusi pemecahan masalah dimasukkan sebagai data di dalam layer genangan tersebut. 

3.      Hasil dari FGD yang dilakukan di lapangan tersebut sudah langsung tersimpan sebagai layer SIG.


Skenario Pengintegrasian SIG Partisipasi Publik & Kolaboratif

Menggunakan pendekatan disain berbasis skenario (Rosson & Carroll, 2001), yang berfokus pada asas penggunaan informasi dan interaksi dari sistem dan aplikasi untuk membantu masyarakat umum dan pengambil keputusan dalam  perencanaan dan pemutusan masalah infrastruktur. Dalam hal ini, skenario penggunaan informasi dan sistem interaksi dikembangkan berdasar pada temuan eksplorasi permasalahan yang ada di lapangan.
Selain aspek kebebasan mengidentifikasi masalah, hal lain yang ingin dicapai dengan aplikasi berbasis internet adalah efisiensi dalam mengumpulkan bahan untuk digunakan dalam rapat dengan warga ataupun penjaringan aspirasi pada saat turun ke lapangan (misalnya dalam penelitian ini menggunakan metode FGD dengan bantuan pemetaan partispatif, seperti dijelaskan di atas). Untuk itu, aplikasi internet yang sesuai adalah sebuah aplikasi portal pemetaan berbasis web. 
Selanjutnya dari aspirasi warga yang masuk perlu dilakukan verifikasi atau check ke lapangan. Dalam kaitan ini, mekanisme rapat warga yang sudah menjadi rutinitas di komunitas RW 03 dapat dilengkapi dengan kegiatan pemetaan partisipatif yang difasilitasi oleh instansi teknik (kimpraswil) atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kimpraswil. Sebelum Jurnal Ilmiah terjun ke lapangan fasilitator perlu menyimpan atau memasang basisdata aspirasi masyarakat dari portal pemetaan di atas ke dalam perangkat lunak SIG yang  terpasang dalam piranti bergerak (misal PDA atau laptop) yang digunakan ke lapangan. Dalam kegiatan ini, warga masyarakat berdiskusi dan bermufakat untuk mengecek, menyaring, dan memutuskan luasan genangan dan redaksional untuk identifikasi masalah, analisis, dan usulan solusi untuk masing-masing obyek yang terpilih menjadi prioritas perbaikan atau pembangunan. Untuk menunjang rapat warga, fasilitator perlu menyiapkan layar lebar sehingga kegiatan rapat warga dapat lebih terarah dan efisien. 


Gambar 5: Skenario pemanfaatan teknologi pemetaan dan teknik pemetaan partisipatif
untuk menunjang pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur.

Selanjutnya, hasil verifikasi tersebut, dapat dibawa oleh fasilitator ke kantor kimpraswil setelah dilakukan konversi dari data input warga menjadi lapis data SIG. Kemudian Kimpraswil dan pihak terkait dapat melakukan agregasi data-data semacam dari kampung atau kelurahan lain, kemudian lapis data kependudukan, sosial ekonomi juga dimasukkan ke dalam sistem SIG  yang ada di kantor untuk melakukan analisis multikriteria guna menetukan prioritas aksi pembangunan. Proses ini dapat dilakukan secara kolaboratif dengan bantuan sistem SIG yang ada. Proses diskusi, operasi spasial (misalnya buffering, proximity, query) dapat dilakukan selama proses diskusi para pengambil keputusan dan analis berlangsung. 

Skenario penggunaan semacam ini akan menambah efisiensi dan efektivitas kinerja Kimpraswil. Dari program-program yang ada, proposal masyarakat sudah dilengkapi peta,namun proses digitalisasi peta kertas menjadi data SIG jarang sekali dilakukan, mengingat kapasitas dan kemampuan operasionalisasi SIG yang masih rendah di kantor-kantor instansi daerah. Peta yang dipakai seringkali bukanlah peta terkini ataupun peta terkait perencaanaan dan permasalahan yang sedang dihadapi.  Seringkali, semata-mata hanya untuk menunjukkan posisi lokasi dalam proses diskusi. Para pengambil keputusan dituntut keras untuk melakukan pemetaan mandiri di dalam otaknya (mid mapping). Hal ini tentu saja tidak efektif, selain dapat terjadi ketidaksamaan representasi visualisasi lokasi, ruang spasial tempat di mana masalah dan program pembangunan perlu dilakukan belum dapat dianalis secara efisien dengan bantuan fasilitas SIG yang sudah terpasang di kantor.

Pembangunan portal web penyerapan aspirasi masyarakat pembangunan infrastruktur kota
Berdasar pada skenario penggunaan di atas, sebuah portal pemetaan partisipatif untuk pembangunan infrastruktur kota dibangun dalam penelitian ini. Aplikasi portal  ini dapat dipandang sebagai pintu gerbang pertama bagi masyarakat umum untuk berpartispasi dalam pembangunan infrastruktur kota di sekitar tempat tinggal mereka. Melalui portal ini, warga masyarakat (setelah mendaftarkan diri dan login), dapat melakukan:
1.    Identifikasi kebutuhan perbaikan ataupun pembangunan fasilitas prasarana umum di lingkungan mereka (tersedia lapis-lapis prasarana umum, seperti: drainase, penerangan jalan, identifikasi genangan air hujan). Identifikasi dilakukan dengan cara menggambar titik atau luasan pada obyek atau kawasan yang menjadi perhatian warga. 

2.    Penyampaian permasalahan, analisis, dan usulan melalui form yang tersedia. Foto kejadian genangan di lokasi tersebut dapat di-upload, untuk menambah kejelasan informasi yang diberikan.

3.    Penambahan komentar dan tanggapan terhadap obyek di atas peta (luasan genangan di bekas terminal Umbulharjo, misalnya) yang dilakukan oleh warga lain (cross-check dan penguatan laporan identifikasi).

Aplikasi portal ini telah berhasil dibangun dengan teknologi  opensource  dan diujicoba. Adapun spesifikasi portal ini adalah sebagai berikut:
1.  GoogleMaps API (Application Programming Interface) sebagai antarmuka peta.
2.  PHP sebagai bahasa pemrograman web dan MySQL untuk penyimpanan basis data
spasial dan atribut-nya.
3.  Komponen konversi databases ke shapefile (melalui KML, Keyhole Markup Language).



Trias Aditya
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik UGM
E-mail: triasaditya@ugm.ac.id

1 komentar:

alfinestar mengatakan...

mantap isinya

Posting Komentar